BAB I
PENDAHULUAN
Bila
ditinjau dalam jangka panjang, sejak kemerdekaan, upaya Pemerintah Indonesia
menjaga kestabilan mata uang telah menuju ke arah yang lebih baik. Prof. M.
Sadli, 2005, mengungkapkan bahwa inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman
Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent
(kalau perlu uang, cetak saja). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan
inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh
karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of
development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman
reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan
penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary
expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada
sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun.
Pada
tahun 1990-an, Pemerintahan Soeharto juga sebenarnya telah mampu menjaga
tingkat inflasi dengan rata-rata di bawah 10%. Hanya saja ketika memasuki masa
krisis moneter Indonesia dan Asia 1997 Inflasi kembali meningkat menjadi 11,10%
dan kemudian melompat menjadi 77,63% pada tahun 1998, di mana saat itu nilai
tukar rupiah juga anjlok dari Rp 2.909,- per dolar AS (1997) menjadi Rp
10.014,- per dolar AS (1998). Setelah itu Pemerintahan Habibie melakukan
kebijakan moneter yang sangat ketat dan menghasilkan tingkat inflasi yang (paling)
rendah yang pernah dicapai yaitu sebesar 2,01% pada tahun 1999.
Selanjutnya
pada tahun 2000 hingga 2006 Inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang
tinggi, yaitu dengan rata-rata mencapai 10%. Inflasi tahun 2005 dengan nilai
sebesar 17,11% adalah inflasi tertinggi pasca krisis moneter Indonesia
(1997/1998), tekanan akan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM)
diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga
minyak di pasar internasional menyebakan Pemerintah berusaha untuk menghapuskan
subsidi BBM. Hal tersebut sangat mempengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia
mengingat konsumsi BBM mencapai 47.4 % (tahun 2000) dari total konsumsi energi
Indonesia.
Inflasi
bergerak pada angka yang sangat mendekati yaitu 6,60% (2006) dan 6,59% (2007).
Bila saja inflasi yang terjadi pada tahun 2005 dapat diabaikan dengan alasan
bahwa BBM sebagai faktor utama yang mempengaruhi inflasi tahun 2005 berada
diluar kendali Pemerintah, maka tingkat inflasi dalam 2000-2006 tahun terakhir dapat
dikatakan cukup terkendali.
Pemerintah
(pasca reformasi) sepertinya telah berusaha keras menjaga tingkat inflasi,
namun berbagai tekanan dari dalam dan luar negeri pasca reformasi (1997) masih
sangat tinggi mempengaruhi pergerakan perekonomian Indonesia. Inflasi yang
terjadi di Indonesia masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat
inflasi Malaysia dan Thailand yang berkisar 2%, bahkan Singapura yang berada di
bawah 1%. Bila sektor-sektor riil dalam negeri tidak dibangkitkan maka upaya di
sektor moneter menjaga kestabilan makro ekonomi dalam jangka panjang hanya akan
menjadi hal yang sia-sia.
1. Apa
pengertian inflasi?
2. Apa
saja jenis-jenis, teori, biaya inflasi dan cara menghitung inflasi?
3. Apa
dampak inflasi dan cara mencegah inflasi?
4. Bagaimana
perkembangan inflasi di Indonesia, serta penyebab dan pengendaliannya?
1
Mengetahui pengertian inflasi.
2
Mengetahui jenis-jenis, teori, biaya,
dan cara menghitung inflasi.
3
Mengetahui dampak inflasi dan cara mencegah inflasi.
4
Mengetahui perkembangan inflasi di
Indonesia, serta penyebab dan pengendaliannya?
BAB II
PEMBAHASAN
Inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi,
kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan)
sebagian besar dari harga barang-barang lain, Boediono (1982: 155). Dalam
praktek, inflasi dapat diamati dengan mengamati gerak dari indek harga. Tetapi
di sini harus diperhitungkan ada tidaknya suppressed inflation (inflasi yang
ditutupi).
Akibat
inflasi secara umum adalah menurunnya daya beli masyarakat karena secara riel
tingkat pendapatannya juga menurun. Jadi, misalkan besarnya inflasi pada tahun
yang bersangkutan naik sebesar 5% sementara pendapatan tetap, maka itu berarti
secara riel pendapatan mengalami penurunan sebesar 5% yang akibatnya relatif
akan menurunkan daya beli sebesar 5% juga, Putong (2002: 254).
Adapun
rumus untuk menghitung inflasi adalah:
In
adalah inflasi, IHKn adalah harga konsumen tahun dasar (dalam hal ini nilainya
100, IHKn-1 adalah indeks harga konsumen tahun berikutnya. Dfn adalah GNP atau
PDB deflator tahun berikutnya, Dfn-1 adalah GNP atau PDB deflator tahun awal
(sebelumnya).
1. Berdasarkan
sifatnya. Berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi 4 kategori utama, Putong
(2002: 260), yaitu:
Inflasi
merayap/rendah (creeping Inflation), yaitu inflasi yang besarnya kurang dari
10% pertahun.
Inflasi
menengah (galloping inflation) besarnya antara 10-30% pertahun.
Inflasi
berat (high inflation), yaitu inflasi yang besarnya antara 30-100% pertahun.
Inflasi
sangat tinggi (hyper inflation), yaitu inflasi yang ditandai oleh naiknya harga
secara drastis hingga mencapai 4 digit (di atas 100%).
2. Berdasarkan
sebabnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong (2002: 260), yaitu:
Demand
Pull Inflation. Inflasi ini timbul karena adanya permintaan keseluruhan yang
tinggi di satu pihak, di pihak lain kondisi produksi telah mencapai kesempatan
kerja penuh (full employment), akibatnya adalah sesuai dengan hukum permintaan,
bila permintaan banyak sementara penawaran tetap, maka harga akan naik.
Cost
Push Inflation. Inflasi ini disebabkan turunnya produksi karena naiknya biaya
produksi (naiknya biaya produksi dapat terjadi karena tidak efisiennya
perusahaan, nilai kurs mata uang negara yang bersangkutan jatuh / menurun,
kenaikan harga bahan baku industri, adanya tuntutan kenaikan upah dari serikat
buruh yang kuat dan sebagainya).
Akibat
dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output, tidak
berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus
demand inflation, biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil) menaik
bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Sebaliknya dalam kasus cost inflation,
biasanya kenaikan harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang
(kelesuan usaha). Perbedaan yang laindari kedua proses inflasi ini terletak
pada urutan dari kenaikan harga. Kedua macam inflasi ini jarang sekali dijumpai
dalam praktek dalam bentuk yang murni. Pada umumnya, inflasi yang terjadi di
berbagai negara di dunia adalah kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut,
dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain, Boediono (1982:
157-158).
3. Berdasarkan
asalnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong (2002: 260), yaitu:
Inflasi
yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena
terjadinya defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran
belanja negara.
Inflasi
yang berasal dari luar negeri, karena negara-negara yang menjadi mitra dagang
suatu negara mengalami inflasi yang tinggi, harga-harga barang dan
juga
ongkos produksi relatif mahal, sehingga bila terpaksa negara lain harus
mengimpor barang tersebut maka harga jualnya di dalam negeri tentu saja
bertambah mahal.
Secara
garis besar ada 3 (tiga) kelompok teori mengenai inflasi. Ketiga teori itu
adalah, Boediono (1982: 169-170):
1. Teori
Kuantitas (persamaan pertukaran dari Irving Fisher: MV=PQ)
Teori
kuantitas adalah teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini masih
sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern ini, terutama
di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini mengatakan bahwa penyebab
utama dari inflasi adalah:
Pertambahan
jumlah uang yang beredar
Psikologi
(harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations) di masa
mendatang.
Tambahan
jumlah uang beredar sebesar x% bisa menumbuhkan inflasi kurang dari x%, sama
dengan x% atau lebih besar dari x%, tergantung kepada apakah masyarakat tidak
mengharapkan harga naik lagi, akan naik tetapi tidak lebih buruk daripada
sekarang atau masa-masa lampau, atau akan naik lebih cepat dari sekarang, atau
masa-masa lampau.
2. Teori
Keynes
Teori
Keynes mengatakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat hidup di luar batas
kemampuan ekonomisnya. Teori ini menyoroti bagaimana perebutan rezeki antara
golongan-golongan masyarakat bisa menimbulkan permintaan agregat yang lebih
besar daripada jumlah barang yang tersedia (yaitu, apabila timbul inflationary
gap). Selama inflationary gap tetap ada, selama itu pula proses inflasi
berkelanjutan. Teori ini menarik karena:
Menyoroti
peranan system distribusi pendapatan dalam proses inflasi,
Menyarankan
hubungan antara inflasi dan faktor-faktor non-ekonomis.
3. Teori
strukturalis
Teori
strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di
negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberikan tekanan pada ketegaran
(inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang.
Teori strukturalis adalah teori inflasi jangka panjang. Disebut teori inflasi
jangka panjang karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor structural dari
perekonomian (yang, menurut definisi, faktor-faktor ini hanya bisa berubah
secara gradual dan dalam jangka panjang). Menurut teori ini, ada 2 (dua)
ketegaran utama dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang yang bisa
menimbulkan inflasi.
a. Ketegaran
yang pertama berupa “ketidakelastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai
ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor
lain. Kelambanan ini disebabkan karena :
Harga
di pasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak
menguntungkan dibanding dengan harga barang-barang impor yang harus dibayar.
Supply
atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsive terhadap kenaikan
harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastis). Kelambanan pertumbuhan
ekspor ini berarti kelambanan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang
dibutuhkan untuk konsumsi maupun untuk investasi. Akibatnya, negara tersebut
terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada penggalakan
produksi dalam negeri dari barang yang sebelumnya diimpor (import substitution
strategy).
b. Ketegaran
yang kedua berkaitan dengan ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan
makanan di dalam negeri.
Biaya
Inflasi yang diharapkan muncul karena hal-hal sebagai berikut, Putong (2002:
262-263):
Shoe
leather cost (biaya kulit sepatu) adalah istilah yang menyatakan bahwa bila
inflasi sesuai dengan harapan maka relatif penetapan suku bunga bank akan lebih
besar dari tingkat inflasi.
Menu
cost (biaya menu), yaitu biaya yang muncul karena perusahaan harus sering mengubah
harga dan itu berarti harus mencetak dan mengedarkan katalog baru.
Complaint
and opportunity loss cost (biaya komplain dan hilangnya kesempatan). Bila
perusahaan dengan sengaja tidak mau mengganti katalog baru, maka perusahaan
akan mengalami kerugian karena harga akan naik sementara perusahaan menjual
dengan harga lama. Bila tidak sengaja, maka perusahaan akan mendapat komplain
dari pelanggan karena harga tidak sesuai dengan catalog (khusus untuk Negara
yang konsumerismenya relative sangat baik).
Biaya
perubahan peraturan/undang-undang pajak.
Biaya
ketidaknyamanan hidup.
Biaya
inflasi yang tidak diharapkan:
Redistribusi
pendapatan antara debitor dengan kreditor.
Penurunan
nilai uang pensiunan.
Bila
harga barang secara umum naik terus-menerus, maka masyarakat akan panik,
sehingga perekonomian tidak berjalan normal, karena di satu sisi ada masyarakat
yang berlebihan uang memborong barang, sementara yang kekurangan uang tidak
bisa membeli barang, akibatnya negara rentan terhadap segala macam kekacauan
yang ditimbulkannya.
Sebagai
akibat dari kepanikan tersebut maka masyarakat cenderung untuk menarik tabungan
guna membeli dan menumpuk barang sehingga banyak bank di rush, akibatnya bank
kekurangan dana dan berdampak pada tutup atau bangkrut, atau rendahnya dana
investasi yang tersedia.
Produsen
cenderung memanfaatkan kesempatan kenaikan harga untuk memperbesar keuntungan
dengan cara mempermainkan harga di pasaran, sehingga harga akan terus menerus
naik.
Distribusi
barang relatif tidak adil karena adanya penumpukan dan konsentrasi produk pada
daerah yang masyarakatnya dekat dengan sumber produksi dan yang masyarakatnya
memiliki banyak uang.
Bila
inflasi berkepanjangan, maka produsen banyak yang bangkrut karena produknya
relatif akan semakin mahal sehingga tidak ada yang mampu membeli.
Jurang
antara kemiskinan dan kekayaan masyarakat semakin nyata yang mengarah pada
sentimen dan kecemburuan ekonomi yang dapat berakhir pada penjarahan dan
perampasan.
Dampak
positif dari inflasi adalah bagi pengusaha barang-barang mewah (highend) yang
mana barangnya lebih laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise).
Masyarakat
akan semakin selektif dalam mengkonsumsi, produksi akan diusahakan seefisien
mungkin dan konsumtifisme dapat ditekan.
Inflasi
yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri menjadi
semakin dipercaya dan tangguh.
Tingkat
pengangguran cenderung akan menurun karena masyarakat akan tergerak untuk
melakukan kegiatan produksi dengan cara mendirikan atau membuka usaha, Putong
(2002: 263-264).
Dengan
menggunakan persamaan Irving Fisher MV=PQ, dapat dijelaskan bahwa inflasi
timbul karena MV naik lebih cepat daripada Q. Jadi untuk mencegah inflasi
variabel M atau V harus dikendalikan, lalu volume Q ditingkatkan. Untuk
mengatur M, V, dan Q dapat dilakukan dengan berbagi kebijakan Nopirin (2005:
34-35), yaitu:
1. Kebijaksanaan
Moneter
Mengatur
jumlah uang yang beredar (M). Salah satu komponennya adalah uang giral. Uang
giral dapat terjadi dalam dua cara, yaitu seseorang memasukkan uang kas ke bank
dalam bentuk giro dan seseorang memperoleh pinjaman dari bank berbentuk giro,
yang kedua ini lebih inflatoir. Bank sentral juga dapat mengatur uang giral
dengan menaikkan cadangan minimum, sehingga uang beredar lebih kecil. Cara lain
yaitu menggunakan discount rate.
Memberlakukan
politik pasar terbuka (jual/beli surat berharga), dengan menjual surat
berharga, bank sentral dapat menekan perkembangan jumlah uang beredar.
2. Kebijakan
Fiskal
Dengan
cara pengurangan pengeluaran pemerintah serta menekan kenaikan pajak yang dapat
mengurangi penerimaan total, sehingga inflasi dapat ditekan.
3. Kebijakan
yang Berkaitan dengan Output
Dengan
menaikkan jumlah output misal dengan cara kebijaksanaan penurunan bea masuk
sehingga impor barang meningkat atau penaikan jumlah produksi, bertambahnya
jumlah barang di dalam negeri cenderung menurunkan harga.
4. Kebijaksanaan
Penetuan Harga dan Indexing
Dengan
penentuan ceiling harga, serta mendasarkan pada indeks harga tertentu untuk
gaji/upah (dengan demikian gaji/upah secara riil tetap). Kalau indeks harga
naik, maka gaji/upah juga naik, begitu pula kalau harga turun.
5. Sanering
Sanering
berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi.
Kebijakan sanering antara lain: Penurunan nilai uang, Pembekuan sebagian simpanan pada bank – bank
dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan
jangka panjang oleh pemerintah.
6. Devaluasi
Devaluasi
adalah penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri.
Jika hal tersebut terjadi biasanya pemerintah melakukan intervensi agar nilai
mata uang dalam negeri tetap stabil. Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan
dengan menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing.
Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan pemerintah menurunkan nilai mata uang
sendiri terhadap mata uang asing.
Seperti
halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya, fenomena inflasi
di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai penyakit ekonomi makro yang
meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang akhir
pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat
ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung kerawanan
jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan miskin
yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya krisis
moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah satu dari
penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung meningkat
pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah dengan semakin
besarnya presentase golongan masyarakat miskin.
Apabila
ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab
timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu:
1. Jumlah
uang beredar
Menurut
sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah factor utama penyebab
timbulnya inflasi di Indonesia. Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang
beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar
(51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di
sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses
pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi
dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan
meningkatnya laju inflasi.
Menurut
data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan
rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif
tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan, tingkat
inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN
lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada
tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan
kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini
dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sector
keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
2. Defisit
Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti
halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah
Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip
anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh
hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali
menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun.
Selama
pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja dibiayai dari dalam negeri
dengan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan
ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang
hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, deficit anggaran belanja ini ditutup dengan
pinjaman luar negeri yang relatif aman terhadap inflasi.
Dalam
era pemerintahan Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi
sejak Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan
pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana
pembangunan dari masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun
pendapatan pajak) di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum
berkembang), juga kemampuan sector swasta yang terbatas dalam melakukan
pembangunan, menyebabkan pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan.
Hal
ini menyebabkan pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin.
Artinya, peran pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi
dengan penerimaan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan
penerimaan negara, atau dapat dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam
keuangan negara. Pada saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an,
pendapatan pemerintah di sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang
primer pun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk
berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat
pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas
produksi nasional yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan
permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari
masyarakat ke pemerintah, seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang
inflasi. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya tekanan inflasi.
3. Faktor-faktor
dalam Penawaran Agregat dan Luar Negeri
Kelambanan
penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan
permintaan agregat ini lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan
struktural (structural bottleneck) yang ada di Indonesia. Harga bahan pangan
merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
Hal ini antara lain disebabkan oleh ketegaran structural yang terjadi di sektor
pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya penawaran bahan pangan.
Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar terhadap sector pertanian,
yang tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap
tenaga kerjanya yang sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi,
mengakibatkan harga bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju penawaran bahan
pangan tidak dapat mengimbangi laju permintaannya, sehingga sering terjadi
excess demand yang selanjutnya dapat memunculkan inflationary gap.
Timbulnya
excess demand ini disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang
membutuhkan bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian,
khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan
oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode
pertanian yang kurang maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian
seperti, perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan tenaga kerja pertanian
ke sektor non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin sempitnya luas
lahan yang digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan
pertanian yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan
pengembangan kota.
Menurut
hasil study empiris yang dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), adalah:
Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan
sektor riil di Indonesia terhadap barang-barang impor, baik capital goods;
intermediated good; maupun row material. Transmisi imported inflation di
Indonesia ini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi rupiah terhadap mata
uang asing dan perubahan harga barang impor di negara asalnya. Bila suatu
ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing,
maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh
produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun
beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini
menyebabkan harga jual output di dalam negeri (khususnya untuk industri
subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial meningkatkan derajat
inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat promosi ekspor,
depresiasi tersebut tidak akan membawa
dampak buruk yang signifikan.
Berkaitan
dengan posisi hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990- an, telah
membengkak dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih
dari 40 %, dan presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah
melampaui hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat
membahayakan ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial,
apabila terjadi fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat
mengakibatkan tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation.
Kedua,
administrated goods adalah barang-barang yang harganya diatur dan ditetapkan
oleh pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam
mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung
pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM,
maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait
dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya, dapat
memperberat tekanan inflasi.
Ketiga,
output gap adalah perbedaan antara actual output (output yang diproduksi)
dengan potential output (output yang seharusnya dapat diproduksi dalam keadaan
full employment). Adanya kesenjangan (gap) ini terjadi karena faktor-faktor
produksi yang dipakai dalam proses produksi belum maksimal dan atau efisien.
Keempat,
interest rate juga merupakan faktor penting yang menyumbang angka inflasi di
Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang cukup membingungkan dalam
menentukan manakah yang menjadi independent variable atau dependent, antara
inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya produksi dan
investasi (sisi penawaran), maka jelaslah bahwa suku bunga dapat dikatagorikan
dalam komponen biaya-biaya tersebut. Dengan relatif tingginya tingkat suku
bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan
investasi
di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga. Jadi,
apabila tingkat suku bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat,
selanjutnya akan meningkatkan pula harga output di pasar, akibatnya terjadi
tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini
bisa menjadi interest rate-price spiral.
Inflasi
di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat
struktural ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary
policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation
lebih besar dari pada demand pull inflation. Memang dalam periode tahun-tahun
tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil booming, tekanan inflasi di
Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut
tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab
pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara penawaran agregat
dengan permintaan agregat, contohnya di sub sector pertanian, yang dapat
meningkatkan derajat inflasi. Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak
menggunakan pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum.
Pemerintah
Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam
inflasi, misalnya dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi
perlu diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi
inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang
telah maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki
structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai
alat utama dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan
dapat menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya
berkarakteristik jangka panjang.
Jika
demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya
dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan
cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi
hambatan-hambatan struktural yang ada. Dengan berpedoman pada berbagai hambatan
dalam pembangunan perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka
perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu :
1. Meningkatkan
Supply Bahan Pangan
Meningkatkan
supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada
pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan.
Modernisasi teknologi dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan
pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan laju produksi bahan pangan agar
tercipta swasembada pangan.
2. Mengurangi
Defisit APBN
Mungkin
dalam masa krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat dilaksanakan,
tetapi dalam jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu dilakukan. Untuk
mengurangi defisit anggaran belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan
penerimaan rutinnya, terutama dari sektor pajak dengan benar dan tepat karena
hal ini juga dapat menekan excess demand. Dengan semakin naiknya penerimaan
dalam negeri, diharapkan pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadap
pinjaman dana dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah
nantinya akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent.
3. Meningkatkan
Cadangan Devisa
Pertama,
perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri (current account),
terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan
demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Juga,
diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus semakin
meningkat. Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri
domestic terhadap barang-barang luar negeri, misalnya dengan lebih banyak
memfokuskan pembangunan pada industri hulu yang mengolah sumberdaya alam yang
tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai bahan baku bagi industri hilir.
Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi
barang-barang modal untuk industri di dalam negeri. Ketiga, mengubah sifat
industri dari yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat promosi
ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export.
Keempat, membangun industri yang mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi
dan memiliki kandungan komponen lokal yang relatif tinggi pula.
4. Memperbaiki
dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat
Pertama,
mengurangi kesenjangan output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas
sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri
manufaktur nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur
distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan
permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga, menstabilkan tingkat suku
bunga dan menyehatkan perbankan nasional, tujuannya untuk mendukung laju proses
industrialisasi nasional. Keempat, menciptakan kondisi yang sehat dalam
perekonomian agar market mechanism dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi
atau bahkan menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan distorsi
pasar. Kelima, melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil
karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost economy.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali
bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian
besar dari harga barang-barang lain. Inflasi digolongkan menurut beberapa cara,
dapat menurut laju inflasi (ringan, sedang, berat, hiper inflasi), sebab
awalnya (demand atau cost inflation), asalnya (domestic atau imported
inflation). Ada 3 teori utama mengenai inflasi. Teori Kuantitas menekankan
bahwa penyebab utama inflasi adalah pertambanahn jumlah uang beredar dan
psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang. Teori Keynes:
inflasi terjadi karenan masyarakat hidup diluar batas kemampuan sekonomisnya..
Teori strukturalis: sebab inflasi adalah dari kekakuan struktur ekonomi.
Biaya
Inflasi. Biaya Inflasi yang diharapkan muncul adalah: Shoe leather cost, Menu
cost, Complaint and opportunity loss cost, Biaya perubahan
peraturan/undang-undang pajak, dan Biaya ketidaknyamanan hidup. Biaya inflasi
yang tidak diharapkan: Redistribusi pendapatan antara debitor dengan kreditor
dan Penurunan nilai uang pensiunan. Dampak inflasi antara lain engara rentan timbul kekacauan, masyarakat
menarik tabungan, bank kekurangan dana dam bangkrut, harga semakin naik, distribusi
barang tidak adil, produsen bangkrut, dampak positifnya adalah masyarakats
emakinselektif memilih barang, menumbuhkan industri kecil, dan pengangguran
berkurang karena banyak wirausahawan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
dan mengatasi inflasi adalah yang berkaitan dengan Kebijaksanaan Moneter,
Kebijakan Fiskal, Kebijakan yang Berkaitan dengan Output, Kebijaksanaan
Penetuan Harga dan Indexing, Sanering, dan Devaluasi.
B. Saran
Dengan
dua pendekatan (moneterist dan strukturalist) pada komposisi yang tepat, maka
diharapkan bukan saja dalam jangka pendek inflasi dapat dikendalikan, tetapi
juga dalam jangka panjang. Dan, bila ada upaya yang serius untuk memperkecil
atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan struktural yang ada, maka akan
berakibat pada membaiknya fundamental ekonomi Indonesia.
No comments:
Post a Comment